Pernahkah Anda berjabat tangan? Jawabannya pasti pernah. Terlebih bagi Anda yang muslim, karena dalam Islam, berjabat tangan merupakan suatu akhlak terpuji yang dianjurkan untuk dilakukan, tentunya bagi sesama jenis atau bagi yang makhrom. Tetapi, ketika pertanyaan tadi dilanjutkan, “Bagaimana perasaan Anda ketika berjabat tangan dengan saudara atau teman Anda?” jawabannya pasti juga banyak dan beragam. Saya sering mengalami hal yang kurang mengesankan ketika bersalaman/berjabat tangan, mungkin Anda juga sering merasakannya.
Suatu ketika, dengan perasaan rindu dan hormat, saya mendekati teman dan mengajaknya berjabat tangan seraya pamit untuk meninggalkan ruangan kerja lebih dulu. Namun rasa ta'zim dan niat baik itu berujung sesal dan sakit, karena teman yang diajak bersalaman hanya menjulurkan tangan kanannya saja tanpa berpaling muka ke arah saya sedikit pun. Matanya asik dengan kegiatannya sendiri seolah tak peduli kehadiran saya. Sesal, karena saya merasa telah mengganggu aktivitasnya. Kalau saja tahu bakal dicuekin seperti itu, mungkin saya urung untuk berjabatan tangan dengan nya. Sakit, karena sebagai teman saya tak dianggap mulia, bahkan oleh teman sendiri. Okelah, mungkin saya yang salah, telah mengganggu aktivitasnya, gumam saya menghibur diri.
Di saat yang lain, saya sedang berasik ria dengan aktivitas membaca Alquran di meja kerja saya. Tiba-tiba teman saya mendekat untuk mengajak berjabat tangan karena dia baru saja hadir di kantor pagi itu. Dengan segera, saya hentikan aktivitas membaca saya, saya raih tangannya dengan wajah yang diusahakan seceria mungkin. Namun, sakit kembali menghampiri hati ini. Teman yang menghampiri dan mengajak bersalaman, ternyata hanya menjulurkan tangan saja dan mukanya melihat ke arah teman yang lain. Ah, kenapa juga harus mengajak jabat tangan dengan saya kalau mukanya ke arah yang berbeda. Lebih baik gak usah jabatan aja deh.. pikir saya.
Heran sekaligus miris. Karena orang yang mengajak maupun yang saya ajak berjabatan adalah mereka yang muslim, yang bahkan dalam aktivitas kesehariannya sangat lekat dengan ibadah dan aktivitas dakwah. Miris, karena berjabatan tangan adalah akhlak yang merupakan bunga dari keimanan seorang muslim. Bagaimana mungkin seseorang berkoar-koar mengajak orang berbuat kebajikan kalau akhlaknya sendiri belum mencerminkan kepribadian da'i yang integral. Barangkali bukannya mereka mau mendengar seruan kita, yang terjadi malah mereka kabur karena sikap kita yang tidak hangat dan ramah.
Teman, sadarilah! Jangan sampai kita nyaman dengan kebajikan yang kita lakukan itu. Kita tidak sadar, bahwa sikap baik yang kita tampilkan itu justru membuat luka menganga dalam hati orang lain karena cara kita yang salah dalam menampilkannya. Dengan sikap itu pula, kita justru melakukan black compaign terhadap Islam yang kita serukan kepada mereka. Bukankah kita sadar dan yakin bahwa berjabat tangan itu dapat merontokkan dosa-dosa kita? Lalu, apa makna yang akan kita dapat kalau berjabat tangan yang kita lakukan justru membuat orang lain sakit hati, berpersepsi yang salah terhadap Islam? Bukannya dosa yang rontok, tapi dosa yang semakin tumbuh subur dalam diri kita.
Diterima dari Anas bin Malik r.a. yang berkata, aku pernah mendengar seseorang berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, jika seseorang bertemu dengan saudaranya atau temannya, apakah ia mesti menundukkan (kepala)?”“Tidak,” jawab Rasul.“Ataukah menghormat dan memeluknya?”“Tidak juga.”“Apakah memegang tangannya (berjabat tangan)?”“Ya,” jawab Rasul singkat. (Dikeluarkan oleh Imam Turmudzi dalam kitab bahasan mengenai minta izin (2728) bab tentang mushafahah. Ia mengatakan: ini adalah hadits hasan; Ibn Majah mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab bahasan mengenai adab (3702) bab al-mushafahah. Imam Baihaki mengeluarkannya dalam bukunya (VII: 100), dan Imam Ahmad (III: 198).
Diterima dari Al-Barra bin ‘Azib r.a. yang berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika dua muslim saling bertemu, lalu saling berjabatan tangan, saling memuji Allah (sama-sama mengucapkan alhamdulillah), serta sama-sama beristighfar (memohon ampunan dosa) kepada Allah, pasti mereka akan diampuni dosanya.” Menurut satu riwayat, Rasulullah saw. bersabda, “Tiada dua muslim yang saling bertemu, lalu mereka saling berjabat tangan kecuali mereka akan diampuni dosanya sebelum mereka berpisah.” (Riwayat pertama dan kedua dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Al-Adab (5211 dan 5212) bab tentang mushafahah; Imam Turmudzi mengeluarkan dalam kitab bahasan mengenai minta izin (2727) bab tentang penjelasan mengenai mushafahah; Ia mengatakan: hasan ini hasan gharib; Ibn Majah mengeluarkannya dalam kitab adab (3703) bab tentang mushafahah.
Dua hadits di atas mengungkapkan tentang keutamaan dari Berjabat tangan dengan sesama muslim. Memang, tidak diungkapkan adanya keharusan bermuka ceria dalam kedua hadits tersebut. Namun bukankah dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw memberikan gambaran kepada kita tentang keutamaan bermuka ceria di hadapan saudara seiman. Bahkan, senyum terhadap saudara kita dikategorikan termasuk bagian dari shadaqoh.
Al-Husein cucu beliau menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata: "Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, ayahku menuturkan:
"Beliau shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa tersenyum, luhur budi pekerti lagi rendah hati, beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkanya pasti tidak akan kecewa dan siapa saja yang memenuhi undangannya pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara: "riya', berbangga-bangga diri dan hal yang tidak bermanfaat." Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara: "beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala." Jika beliau berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara.
Suatu ketika, dengan perasaan rindu dan hormat, saya mendekati teman dan mengajaknya berjabat tangan seraya pamit untuk meninggalkan ruangan kerja lebih dulu. Namun rasa ta'zim dan niat baik itu berujung sesal dan sakit, karena teman yang diajak bersalaman hanya menjulurkan tangan kanannya saja tanpa berpaling muka ke arah saya sedikit pun. Matanya asik dengan kegiatannya sendiri seolah tak peduli kehadiran saya. Sesal, karena saya merasa telah mengganggu aktivitasnya. Kalau saja tahu bakal dicuekin seperti itu, mungkin saya urung untuk berjabatan tangan dengan nya. Sakit, karena sebagai teman saya tak dianggap mulia, bahkan oleh teman sendiri. Okelah, mungkin saya yang salah, telah mengganggu aktivitasnya, gumam saya menghibur diri.
Di saat yang lain, saya sedang berasik ria dengan aktivitas membaca Alquran di meja kerja saya. Tiba-tiba teman saya mendekat untuk mengajak berjabat tangan karena dia baru saja hadir di kantor pagi itu. Dengan segera, saya hentikan aktivitas membaca saya, saya raih tangannya dengan wajah yang diusahakan seceria mungkin. Namun, sakit kembali menghampiri hati ini. Teman yang menghampiri dan mengajak bersalaman, ternyata hanya menjulurkan tangan saja dan mukanya melihat ke arah teman yang lain. Ah, kenapa juga harus mengajak jabat tangan dengan saya kalau mukanya ke arah yang berbeda. Lebih baik gak usah jabatan aja deh.. pikir saya.
Heran sekaligus miris. Karena orang yang mengajak maupun yang saya ajak berjabatan adalah mereka yang muslim, yang bahkan dalam aktivitas kesehariannya sangat lekat dengan ibadah dan aktivitas dakwah. Miris, karena berjabatan tangan adalah akhlak yang merupakan bunga dari keimanan seorang muslim. Bagaimana mungkin seseorang berkoar-koar mengajak orang berbuat kebajikan kalau akhlaknya sendiri belum mencerminkan kepribadian da'i yang integral. Barangkali bukannya mereka mau mendengar seruan kita, yang terjadi malah mereka kabur karena sikap kita yang tidak hangat dan ramah.
Teman, sadarilah! Jangan sampai kita nyaman dengan kebajikan yang kita lakukan itu. Kita tidak sadar, bahwa sikap baik yang kita tampilkan itu justru membuat luka menganga dalam hati orang lain karena cara kita yang salah dalam menampilkannya. Dengan sikap itu pula, kita justru melakukan black compaign terhadap Islam yang kita serukan kepada mereka. Bukankah kita sadar dan yakin bahwa berjabat tangan itu dapat merontokkan dosa-dosa kita? Lalu, apa makna yang akan kita dapat kalau berjabat tangan yang kita lakukan justru membuat orang lain sakit hati, berpersepsi yang salah terhadap Islam? Bukannya dosa yang rontok, tapi dosa yang semakin tumbuh subur dalam diri kita.
Diterima dari Anas bin Malik r.a. yang berkata, aku pernah mendengar seseorang berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, jika seseorang bertemu dengan saudaranya atau temannya, apakah ia mesti menundukkan (kepala)?”“Tidak,” jawab Rasul.“Ataukah menghormat dan memeluknya?”“Tidak juga.”“Apakah memegang tangannya (berjabat tangan)?”“Ya,” jawab Rasul singkat. (Dikeluarkan oleh Imam Turmudzi dalam kitab bahasan mengenai minta izin (2728) bab tentang mushafahah. Ia mengatakan: ini adalah hadits hasan; Ibn Majah mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab bahasan mengenai adab (3702) bab al-mushafahah. Imam Baihaki mengeluarkannya dalam bukunya (VII: 100), dan Imam Ahmad (III: 198).
Diterima dari Al-Barra bin ‘Azib r.a. yang berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika dua muslim saling bertemu, lalu saling berjabatan tangan, saling memuji Allah (sama-sama mengucapkan alhamdulillah), serta sama-sama beristighfar (memohon ampunan dosa) kepada Allah, pasti mereka akan diampuni dosanya.” Menurut satu riwayat, Rasulullah saw. bersabda, “Tiada dua muslim yang saling bertemu, lalu mereka saling berjabat tangan kecuali mereka akan diampuni dosanya sebelum mereka berpisah.” (Riwayat pertama dan kedua dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Al-Adab (5211 dan 5212) bab tentang mushafahah; Imam Turmudzi mengeluarkan dalam kitab bahasan mengenai minta izin (2727) bab tentang penjelasan mengenai mushafahah; Ia mengatakan: hasan ini hasan gharib; Ibn Majah mengeluarkannya dalam kitab adab (3703) bab tentang mushafahah.
Dua hadits di atas mengungkapkan tentang keutamaan dari Berjabat tangan dengan sesama muslim. Memang, tidak diungkapkan adanya keharusan bermuka ceria dalam kedua hadits tersebut. Namun bukankah dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw memberikan gambaran kepada kita tentang keutamaan bermuka ceria di hadapan saudara seiman. Bahkan, senyum terhadap saudara kita dikategorikan termasuk bagian dari shadaqoh.
Al-Husein cucu beliau menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata: "Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, ayahku menuturkan:
"Beliau shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa tersenyum, luhur budi pekerti lagi rendah hati, beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkanya pasti tidak akan kecewa dan siapa saja yang memenuhi undangannya pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara: "riya', berbangga-bangga diri dan hal yang tidak bermanfaat." Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara: "beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala." Jika beliau berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar