Pembahasan tentang jihad fi sabilillah sangat banyak sekali dalam khazanah keilmuan Islam. Ada yang melihat dari perspektif Al-Qur'an, Sunnah, Fiqh,S irah, bahkan ada juga yang melihatnya dari kacamata maidaniyah di lapangan jihad itu sendiri (seperti tafsir Al-Anfal nya Dr. Abdullah Azam, dsb).
Jika kita buka satu persatu pembahasan-pembahasan tentang jihad, hampir semuanya mengarah pada bentuk jihad qitali, sebagai puncak dari jihad. Walaupun hampir keseluruhan ulama juga sepakat bahwa sektor jihad tidak hanya mengerucut pada jihad qitali semata. Prof Dr. Syekh Abdullah Nasih Ulwan (ulama pergerakan Islam terkemuka) juga membenarkan adanya bentuk jihad yang lainnya, seperti jihad mali, jihad iqtishadi, jihad siyasi, jihad ta'limi, dsb. (Lihat buku hattaya'lama syabab...). Pada intinya, seluruh rangkaian aktivitas yang mengarah pada litakuna kalimatallah hiyal ulya, yang dilakukan secara benar sesuai dengan manhaj Al-Qur'an dan sunnah, dapat dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah...Bahkan dalam beberapa keadaan, jihad mali, jihad siyasi, jihad ta'limi bisa lebih baik dari pada jihad qitali itu sendiri, meskipun jihad qitali adalah puncaknya jihad. Hal ini karena situasi dan kondisi sangat menentukan dalammelihat amalan mana yang paling afdhal.
Dalam hadits, terdapat beberapa riwayat di mana sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai amalan yang paling afdhal. Dan ketika menjawabnya, ternyata terhadap sahabat yang satu terkadang Rasulullah SAW memberikan jawaban berbeda ketika menjawab sahabat yang lainnya, tergantung situasi dan kondisinya. Terkadang beliau mengatakan al-jihadu fi sabilillah sebagai amalan yang paling afdhal, namun di lain tempat beliau mengatakan al-hajjul mabruru, di lain tempat beliau mengatakan birrul walidaini, dsb. Ini artinya bahwa suatu amalan tidak melulu dipandang paling baik sepanjang masa. Ketika adzan berkumandang, maka amalan yang paling afdhal adalah segera memenuhi panggilan Allah shalat di Masjid, membaca Al-Qur'an menjadi tidak afdhal pada saat tersebut.
Dalam pelaksanaannya, jihad (qitali) memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh "sang mujahid". Di daerah yang "terjajah" oleh musuh-musuh Allah, seperti Palestina, semua ulama bahkan sepakat, bahwa aksi pengeboman dengan mengorbankan diri sendiri adalah sebagai mati syahid. Aksi seperti inipun kemudian dikenal dengan istilah amaliyah istisyhadiyah. Ini disepakati oleh hampir seluruh ulama, bahkan termasuk ulama Arab Saudi sekalipun. Karena secara pembagian wilayah jihad, wilayah tersebut masuk dalam kategori darul harb, yang setiap muslim berkewajiban untuk mempertahankan wilayah negaranya. Adapun diluar darul harb, ulama tidak sepakat apakah diperbolehkan untuk melakukan aksi pengeboman. Bahkan setahu saya bahwa sebagian besar ulama melarangnya, meskipun ada juga ulama yang memperbolehkannya, itupun dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu.
Pertanyaan apakah Ali Ghufran, Amrozi, dan Imam Samudera adalah termasuk para syuhada? Wallahu A'lam Bis Shawab, hanya Allah yang Maha Tahu. Karena banyakVariabel agar seseorang dikatakan sebagai syuhada'. Faktor keikhlasan, niatan yang benar, cara yang benar, sarana yang benar, waktu yang benar, objek yangbenar, adalah di antara faktor kesyahidan seseorang. Dan terkadang dalam hal ini,faktor kesubyektifitasan orang yang menilai juga menjadi faktor tarik menarik untuk menilai apakah si fulan termasuk syuhada' atau bukan. Sebagian kalangan sangat yakin bahwa mereka adalah para syuhada, sementara kalangan yang lain sangat yakin bahwa mereka bukan syuhada', sementara ada sebagian kalangan yang baina-baina; melihat niatannya benar namun caranya salah... Wallahu A'lam BisShawab, hanya Allah sajalah yang Maha Tahu.
Allah Maha Tahu, atas seseorang yang dinegatifkan oleh dunia, dianggap sebagai biang kekecauan dunia dan dianggap orang paling bejat di dunia, bisa jadi ia adalah orang yang paling baik di hadapan Allah.... Sebaliknya ada orang yang mungkin oleh orang sedunia ia dianggap sebagai ahlul khair... bahkan semua orang sepakat bahwa ia adalah ahlul khair, namun ternyata ia tidak memiliki satu bentuk sifat khair pun di mata Allah SWT.... Hanya Allah yang Maha Tahu. Karena hal ini merupakan hal yang "ghaib", yang tidak bisa dideteksi secarala hiriyah...
Ada sebuah riwayat Imam Muslim yang juga dicantumkan oleh Syekh Sayid Muhammad Nuh dalam Taujihad Nabawiyah, tentang seorang yang dianggap mati syahid. Lalu ia dihadapkan kepada Allah SWT, lantas Allah bertanya kepadanya, "amalan apa yangtelah engkau lakukan? Ia menjawab aku berjuang (berperang)di jalan-Mu hingga aku mati syahid." Kemudian Allah berfirman, "Engkau berdusta. Engkau berjuang supaya dikatakan pemberani, dan perkataan itu telah diucapkan manusia.." Lalu ia ditarik dari hadapan Allah hingga dicampakkan ke dalam neraka. (HR Muslim,KitabAl-Imarah, Bab Man Qatala Lir Riya' Was Sum'ah Istahaqqan Nar...)
Namun yang sebalinya juga ada, seseroang yang ketika para sahabat berperang ia masih mengunyah beberapa butir kurma, enggan untuk turut ke medan perang. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah, apa yang akan ia dapatkan jika ia terbunuh di medan pertempuran? Ketika dijawab surga, iapun segera bangkit menuju medan pertempuran, dan ia mendapatkan syahid....
Kita semua hanya bisa mendoakan, agar orang-orang yang kita cintai medapatkan tempat yang paling mereka cintai, di sisi Rab yang mereka cintai.... Seraya kita juga introspeksi diri agar kita memperbaiki amaliyah-amaliyah kita baik yang bersifat lahiriyah maupun batiniyah agar menjadi lebih baik lagi dari harike hari.... Serta hendaknya kita juga benar-benar mempelajari bagaiamana sesungguhnya manhaj perjuangan yang tepat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAWbersama para sahabatnya.
Ada satu hal lagi mungkin yang perlu digaris bawahi mengenai firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal : 60. Yaitu bahwa kata turhibuna ditafirkan oleh mayoritasa hli tafsir dengan yukhawwifuna, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasaIndonesia dengan "menggetarkan". (Lihat Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, Al-Jalalain,dsb). Menafsirkan ayat yurhibuna dengan menteror, menurut saya agak kurang tepat. Walaupun dalam bahasa Arab kontemporer yang digunakan oleh media masa Arab saat ini, seringkali menterjemahkan istilah terorisme dengan irhabiyah, teroris dengan irhabi atau irhabiyun (jama'). Istilah yang digunakan oleh mediaArab ini justru pada mulanya "mengacaukan" pemahaman tentang makna turhibuna dalam surat Al-Anfal 60 ini. Dan menurut saya, kita jangan terjebak oleh penerjemahan media masa Arab sekuler tersebut.
Yukhawwifuna (yang kemudian diartikan menggetarkan) lebih mengarah pada kewibawaan umat, ketika kita memiliki pasukan yang telatih, memiliki mentalitas keimanan yang baik, siap tempur, berjumlah cukup banyak, memiliki peralatan yangmemadai (pada zamannya minimal kuda perang). Dengan pasukan yang seperti itu,akan mengakibatkan musuh-musuh Allah menjadi "takut" dan "gentar". Dan saya belum menemukan (minimal dari tafsir-tafsir yang saya baca), bahwa turhibuna itubermakna menteror. Karena Rasulullah SAW sendiri pun tidak pernah mencontohkan untuk melakukan satu bentuk teror (kecuali dalam kondisi darul harbi, di tengah medan pertempuran). Demikian juga para sahabat-sahabat beliau. Oleh karenanya, saya menghimbau agar kita semua lebih berhati-hati dalam mentafsirkan ayat-ayat tertentu, agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang "dakhil" atau kurang tepat. Karena kalau pemahamanan kurang tepat, tentu aksinya akan kurang tepat. Dan jika aksinya kurang tepat, tentu hasilnya juga kurang tepat. Dan tanggungjawab dihadapan Allah SWT pun akan menjadi kurang tepat. Namun marilah kita menuju pemahaman yang tepat, yang akan melahirkan aksi yang tepat, hasil yangtepat dan tanggung jawab dihadapan Allah yang juga tepat....
Sebagaimana disampaikan Al Ustadz Rikza Maulan, Sekretaris DPS PT Asuransi Takaful Indonesia dalam Forum Takaful