Jumat, 12 Desember 2008

Tadabbur Ayat Hijrah



“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(Al-Anfal: 72-75)

Keempat ayat ini merupakan satu-satunya rangkaian ayat-ayat hijrah yang paling lengkap dan tersusun secara berurutan dari sekitar dua puluh ayat yang berbicara tentang hijrah. Karena ayat hijrah yang lain tersebar di beberapa tempat secara terpisah dan berdiri sendiri, tidak memiliki relevansi dengan ayat sebelum atau sesudahnya.

Dalam konteks hijrah, akan lahir dua kelompok manusia yang sama-sama secara berdampingan mendapat penghargaan dan tempat istimewa di sisi Allah atas ketulusan pengorbanan dan pengabdian mereka. Dua kelompok tersebut diabadikan dengan istilah yang indah dalam Al-Qur’an, yaitu Muhajirin dan Anshar. Muhajirin adalah orang-orang yang dengan suka rela meninggalkan semua yang mereka miliki beserta tanah air tempat tinggal mereka demi menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kelompok Anshor adalah mereka yang siap menerima, membela, memberi perlindungan dan bantuan kepada orang-orang yang berhijrah dengan tanpa mengharapkan imbalan selain balasan pahala dari Allah swt.

Kedua kelompok manusia ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dengan penghargaan dan jaminan yang tertinggi; Ridho Allah dan syurga-Nya yang abadi. Allah berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (At-Taubah: 100).

Ayat dengan redaksi yang sama dengan ayat ini berulang di surat At-taubah: 117, An-Nur: 22, Al-Ahzab: 6, dan Al-Hasyr: 8

Yang menarik untuk dicermati dari ayat yang menyebut aktor pelaku hijrah bahwa selain dari kelompok Muhajirin dan Anshar, Allah masih membuka peluang jaminan dan penghargaan yang sama dengan mereka bagi siapapun yang mampu mengikuti jejak teladan kedua kelompok itu dengan baik pasca hijrah yang tersirat dari firmanNya: “dan orang-orang yang mengikuti mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.

Demikian gambaran hijrah Rasul dengan para sahabatnya dalam konteks sejarah ayat di atas ternyata sarat dengan nilai perjuangan, pengorbanan, kepeduliaan terhadap sesama, kesabaran dan persaudaraan (ukhuwah) yang melebihi batas kekeluargaan dan kekerabatan karena direkat dengan ikatan akidah. Nilai luhur ini merupakan nilai universal yang berlaku sepanjang zaman pasca sabda Rasulullah saw tentang hijrah: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan kota Mekah, tetapi jihad dan niat”. (H.R. Bukhari). Justru ujian nilai hijrah akan tetap menjadi neraca ketulusan dan kualitas iman seseorang dengan sebuah jaminan bahwa hijrah yang diperintahkan Allah tidak ada lain adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.

Allah berfirman menjelaskan jaminan-Nya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’: 100).

Sungguh begitu mempesona Fragmen kehidupan dan interaksi harmonis yang tercermin antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dalam konteks Al-Itsar (mengutamakan dan lebih mementingkan saudaranya meskipun ia sangat membutuhkan) yang merupakan tahapan tertinggi dari sebuah implementasi bangunan ukhuwah (persaudaraan) yang telah ditunjukkan dalam sejarah hijrah sahabat Rasulullah: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”.(Al-Hasyr: 9)

Pembacaan lain dari ayat-ayat hijrah, bahwa aktifitas hijrah tidak terlepas dan selalu diapit dengan iman sebagai pondasi dan perjuangan (jihad) sebagai nilai aplikatif dari hijrah. Pendampingan dan pengapitan hijrah dengan iman dan jihad di dalam Al-Qur’an tentu bukan sebatas memenuhi standar keindahan bahasa Al-Qur’an, tetapi lebih dari itu terdapat nilai dan hikmah yang dikehendaki oleh Allah agar kita senantiasa memaknainya; bahwa hijrah memang merupakan bukti ketulusan iman seseorang, sedangkan jihad merupakan buah sekaligus konsekuensi logis dari aktifitas hijrah. Iman tanpa hijrah tidak akan bermakna, begitupula hijrah tanpa jihad berarti tidak berbuah. Makanya pendampingan ini berulang sebanyak sembilan kali, diawali dengan surat Al-Baqarah: 218 yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kemudian disusul secara berurutan dengan surat Ali Imran: 195, Al-Anfal; 72-75, At-Taubah: 20, An-Nahl: 41 dan 110, serta surat Al-Hajj: 58.

Semua ayat yang berbicara tentang hijrah di atas adalah dalam konteks hijrah makaniyah (hijrah fisik; perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain) untuk mempertahankan akidah. Terdapat hanya satu ayat yang berbicara dalam konteks hijrah ma’nawiyah (hijrah nilai; berubah dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik), yaitu firman Allah swt: “Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Ankabut: 26). Dan di antara yang harus ditinggalkan dalam konteks hijrah maknawiyah seperti yang pernah Allah perintahkan kepada Rasulullah di era awal turunnya Al-Qur’an adalah perbuatan dosa dan maksiat seperti yang disebutkan dalam surat Al-Muddatsir: 5 yang bermaksud: “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”.

Memang hijrah makaniyah sangat kondisional dan mungkin tidak akan berulang seperti yang pernah terjadi di era Rasul, tetapi nilai dan pelajaran hijrah makaniyah masih tetap relevan, yaitu pelajaran kesabaran, kesiapan berkorban dan berjuang, kepeduliaan terhadap sesama, pelajaran persaudaraan yang dibangun atas dasar iman dengan itsar sebagai peringkat yang tertinggi serta pelajaran ta’awun untuk memperkuat posisi Islam dan umatnya. Kehidupan sosial yang ideal dan harmonis justru dirasakan oleh para sahabat saat peristiwa hijrah berlangsung. Sungguh betapa bernilai memang pelajaran hijrah para sahabat Rasul sehingga layak dijadikan momentum untuk melakukan perubahan dan perbaikan arah yang lebih baik, baik dalam skala pribadi, keluarga dan sosial.

Ditambah dengan hijrah ma’nawiyah yang merupakan media komunikasi dan harmonisasi hubungan dengan sang Khaliq. Semoga nilai dan pelajaran hijrah akan senantiasa mewarnai kehidupan kita menuju kehidupan yang lebih baik di bawah naungan rahmat dan ridha Allah swt. Amin.
Sumber: dakwatuna.com

Rabu, 03 Desember 2008

10 Hari Pertama Dzulhijjah

Allah swt. dalam Al Qur’an telah bersumpah dengan malam-malam sepuluh hari awal bulan ini, hal ini membuktikan bahwa waktu ini sangatlah istimewa, memiliki keutamaan yang besar di sisi Allah swt, adalah hari-hari untuk meningkatkan amal shaleh, dan karena itu mendapatkan apresiasi yang besar dan balasan yanng melimpah dari sisi Allah swt. Allah berfirman:

“Demi fajar. Dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil.” Qs. Al Fajr:1-3.

Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : “Puasa hari Asyura, Puasa 1-8 zulhijjah, 3 hari tiap bulan dan dua rakaat sebelum fajar.” Imam Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i.Dari Ibni Abbas ra bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah dari hari ini, (yaitu 10 hari bulan Zulhijjah).” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah saw., dibandingkan dengan jihad fi sabilillah?” . “Meskipun dibandingkan dengan jihad fi sabililllah.” Riwayat Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i.

Pada hari-hari ini ada momentum yang sangat berharga, yaitu hari Arafah, siapa yang melaksanakan shaum sunnah pada waktu tersebut, maka dosanya akan diampuni satu tahun yang telah lewat dan satu tahun yang akan datang.

“Rasulullah saw. ditanya tentang shaum hari Arafah, beliau menjawab: “Shaum Arafah menghapus dosa satu tahun yang telah lewat dan satu tahun yang akan datang.” Imam Muslim dalam sahihnya.

Hari-hari ini merupakan puncak prosesi ibadah haji, waktu-waktu mahal bagi seseorang yang melaksanakan ibadah ke tanah suci. Rasulullah saw. bersabda:

“Haji mabrur tiada balasan baginya kecuali surga. Dan dua umrah atau antara umrah satu dengan umrah berikutnya, menghapus kesalahan antara keduanya.” Imam Ahmad dalam musnadnya.

Di antara hari-hari inilah ada yang disebut dengan “Al Hajjul Akbar”, yaitu hari penyembelihan, penyembelihan hewan kurban yang hukumnya sunnah mu’akkadah, sunnah yanng sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. dilaksanakan setelah shalat Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah dan dilanjutkan pada hari ketiga berikutnya, 11,12, dan 13 Dzulhijjah, yang dikenal dengan “ayyamun nahr” -hari-hari penyembelihan-.

“Barangsiapa memiliki kelapangan rizki, namun tidak menyembelih hewan kurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” Imam Ahmad dan Ibnu Majah.

Sumber: dakwatuna.com

Jumat, 14 November 2008

JIHAD.... OR TEROR...?

Pembahasan tentang jihad fi sabilillah sangat banyak sekali dalam khazanah keilmuan Islam. Ada yang melihat dari perspektif Al-Qur'an, Sunnah, Fiqh,S irah, bahkan ada juga yang melihatnya dari kacamata maidaniyah di lapangan jihad itu sendiri (seperti tafsir Al-Anfal nya Dr. Abdullah Azam, dsb).

Jika kita buka satu persatu pembahasan-pembahasan tentang jihad, hampir semuanya mengarah pada bentuk jihad qitali, sebagai puncak dari jihad. Walaupun hampir keseluruhan ulama juga sepakat bahwa sektor jihad tidak hanya mengerucut pada jihad qitali semata. Prof Dr. Syekh Abdullah Nasih Ulwan (ulama pergerakan Islam terkemuka) juga membenarkan adanya bentuk jihad yang lainnya, seperti jihad mali, jihad iqtishadi, jihad siyasi, jihad ta'limi, dsb. (Lihat buku hattaya'lama syabab...). Pada intinya, seluruh rangkaian aktivitas yang mengarah pada litakuna kalimatallah hiyal ulya, yang dilakukan secara benar sesuai dengan manhaj Al-Qur'an dan sunnah, dapat dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah...Bahkan dalam beberapa keadaan, jihad mali, jihad siyasi, jihad ta'limi bisa lebih baik dari pada jihad qitali itu sendiri, meskipun jihad qitali adalah puncaknya jihad. Hal ini karena situasi dan kondisi sangat menentukan dalammelihat amalan mana yang paling afdhal.

Dalam hadits, terdapat beberapa riwayat di mana sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai amalan yang paling afdhal. Dan ketika menjawabnya, ternyata terhadap sahabat yang satu terkadang Rasulullah SAW memberikan jawaban berbeda ketika menjawab sahabat yang lainnya, tergantung situasi dan kondisinya. Terkadang beliau mengatakan al-jihadu fi sabilillah sebagai amalan yang paling afdhal, namun di lain tempat beliau mengatakan al-hajjul mabruru, di lain tempat beliau mengatakan birrul walidaini, dsb. Ini artinya bahwa suatu amalan tidak melulu dipandang paling baik sepanjang masa. Ketika adzan berkumandang, maka amalan yang paling afdhal adalah segera memenuhi panggilan Allah shalat di Masjid, membaca Al-Qur'an menjadi tidak afdhal pada saat tersebut.

Dalam pelaksanaannya, jihad (qitali) memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh "sang mujahid". Di daerah yang "terjajah" oleh musuh-musuh Allah, seperti Palestina, semua ulama bahkan sepakat, bahwa aksi pengeboman dengan mengorbankan diri sendiri adalah sebagai mati syahid. Aksi seperti inipun kemudian dikenal dengan istilah amaliyah istisyhadiyah. Ini disepakati oleh hampir seluruh ulama, bahkan termasuk ulama Arab Saudi sekalipun. Karena secara pembagian wilayah jihad, wilayah tersebut masuk dalam kategori darul harb, yang setiap muslim berkewajiban untuk mempertahankan wilayah negaranya. Adapun diluar darul harb, ulama tidak sepakat apakah diperbolehkan untuk melakukan aksi pengeboman. Bahkan setahu saya bahwa sebagian besar ulama melarangnya, meskipun ada juga ulama yang memperbolehkannya, itupun dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu.

Pertanyaan apakah Ali Ghufran, Amrozi, dan Imam Samudera adalah termasuk para syuhada? Wallahu A'lam Bis Shawab, hanya Allah yang Maha Tahu. Karena banyakVariabel agar seseorang dikatakan sebagai syuhada'. Faktor keikhlasan, niatan yang benar, cara yang benar, sarana yang benar, waktu yang benar, objek yangbenar, adalah di antara faktor kesyahidan seseorang. Dan terkadang dalam hal ini,faktor kesubyektifitasan orang yang menilai juga menjadi faktor tarik menarik untuk menilai apakah si fulan termasuk syuhada' atau bukan. Sebagian kalangan sangat yakin bahwa mereka adalah para syuhada, sementara kalangan yang lain sangat yakin bahwa mereka bukan syuhada', sementara ada sebagian kalangan yang baina-baina; melihat niatannya benar namun caranya salah... Wallahu A'lam BisShawab, hanya Allah sajalah yang Maha Tahu.

Allah Maha Tahu, atas seseorang yang dinegatifkan oleh dunia, dianggap sebagai biang kekecauan dunia dan dianggap orang paling bejat di dunia, bisa jadi ia adalah orang yang paling baik di hadapan Allah.... Sebaliknya ada orang yang mungkin oleh orang sedunia ia dianggap sebagai ahlul khair... bahkan semua orang sepakat bahwa ia adalah ahlul khair, namun ternyata ia tidak memiliki satu bentuk sifat khair pun di mata Allah SWT.... Hanya Allah yang Maha Tahu. Karena hal ini merupakan hal yang "ghaib", yang tidak bisa dideteksi secarala hiriyah...
Ada sebuah riwayat Imam Muslim yang juga dicantumkan oleh Syekh Sayid Muhammad Nuh dalam Taujihad Nabawiyah, tentang seorang yang dianggap mati syahid. Lalu ia dihadapkan kepada Allah SWT, lantas Allah bertanya kepadanya, "amalan apa yangtelah engkau lakukan? Ia menjawab aku berjuang (berperang)di jalan-Mu hingga aku mati syahid." Kemudian Allah berfirman, "Engkau berdusta. Engkau berjuang supaya dikatakan pemberani, dan perkataan itu telah diucapkan manusia.." Lalu ia ditarik dari hadapan Allah hingga dicampakkan ke dalam neraka. (HR Muslim,KitabAl-Imarah, Bab Man Qatala Lir Riya' Was Sum'ah Istahaqqan Nar...)

Namun yang sebalinya juga ada, seseroang yang ketika para sahabat berperang ia masih mengunyah beberapa butir kurma, enggan untuk turut ke medan perang. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah, apa yang akan ia dapatkan jika ia terbunuh di medan pertempuran? Ketika dijawab surga, iapun segera bangkit menuju medan pertempuran, dan ia mendapatkan syahid....

Kita semua hanya bisa mendoakan, agar orang-orang yang kita cintai medapatkan tempat yang paling mereka cintai, di sisi Rab yang mereka cintai.... Seraya kita juga introspeksi diri agar kita memperbaiki amaliyah-amaliyah kita baik yang bersifat lahiriyah maupun batiniyah agar menjadi lebih baik lagi dari harike hari.... Serta hendaknya kita juga benar-benar mempelajari bagaiamana sesungguhnya manhaj perjuangan yang tepat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAWbersama para sahabatnya.

Ada satu hal lagi mungkin yang perlu digaris bawahi mengenai firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal : 60. Yaitu bahwa kata turhibuna ditafirkan oleh mayoritasa hli tafsir dengan yukhawwifuna, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasaIndonesia dengan "menggetarkan". (Lihat Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, Al-Jalalain,dsb). Menafsirkan ayat yurhibuna dengan menteror, menurut saya agak kurang tepat. Walaupun dalam bahasa Arab kontemporer yang digunakan oleh media masa Arab saat ini, seringkali menterjemahkan istilah terorisme dengan irhabiyah, teroris dengan irhabi atau irhabiyun (jama'). Istilah yang digunakan oleh mediaArab ini justru pada mulanya "mengacaukan" pemahaman tentang makna turhibuna dalam surat Al-Anfal 60 ini. Dan menurut saya, kita jangan terjebak oleh penerjemahan media masa Arab sekuler tersebut.

Yukhawwifuna (yang kemudian diartikan menggetarkan) lebih mengarah pada kewibawaan umat, ketika kita memiliki pasukan yang telatih, memiliki mentalitas keimanan yang baik, siap tempur, berjumlah cukup banyak, memiliki peralatan yangmemadai (pada zamannya minimal kuda perang). Dengan pasukan yang seperti itu,akan mengakibatkan musuh-musuh Allah menjadi "takut" dan "gentar". Dan saya belum menemukan (minimal dari tafsir-tafsir yang saya baca), bahwa turhibuna itubermakna menteror. Karena Rasulullah SAW sendiri pun tidak pernah mencontohkan untuk melakukan satu bentuk teror (kecuali dalam kondisi darul harbi, di tengah medan pertempuran). Demikian juga para sahabat-sahabat beliau. Oleh karenanya, saya menghimbau agar kita semua lebih berhati-hati dalam mentafsirkan ayat-ayat tertentu, agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang "dakhil" atau kurang tepat. Karena kalau pemahamanan kurang tepat, tentu aksinya akan kurang tepat. Dan jika aksinya kurang tepat, tentu hasilnya juga kurang tepat. Dan tanggungjawab dihadapan Allah SWT pun akan menjadi kurang tepat. Namun marilah kita menuju pemahaman yang tepat, yang akan melahirkan aksi yang tepat, hasil yangtepat dan tanggung jawab dihadapan Allah yang juga tepat....

Sebagaimana disampaikan Al Ustadz Rikza Maulan, Sekretaris DPS PT Asuransi Takaful Indonesia dalam Forum Takaful

Jumat, 17 Oktober 2008

Mengapa Kapitalisme Meruntuhkan Ekonomi Dunia?

Diskusi hangat malam ini di ruang perkuliahan IEF (Islamic Economic and Finance) Trisakti, Graha Menara Megah lantai lima diawali dengan sebuah topik hangat mengenai krisis keuangan global yang menimpa dunia dan berawal dari Amerika Serikat sebagai motor penggerak sistem ekonomi kapitalis.

Kapitalisme telah menyebabkan terjadinya krisis yang selalu berulang di dunia ini. Semenjak kapitalisme menjadi urat nadi perekonomian, dunia telah mengalami krisis sebanyak lima kali. Dan, krisis kali ini adalah krisis yang kelima setelah sebelumnya krisis menimpa pada tahun 1997/1998 yang lalu. Mengapa kapitalisme dianggap sebagai biang keladi dari krisis global ini? Apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan dari kapitalisme tersebut? Setidaknya ada 4 pokok masalah yang secara instrinsik dimiliki oleh kapitalisme, adalah sebagai berikut:
pertama, kapitalisme menjadikan uang sebagai komoditi. Dalam kapitalisme terjadi pasar semu. Jual beli uang dan derivatifnya, berupa saham, obligasi, index, dan sebagainya telah menyebabkan terjadinya bubble economy. Sektor moneter dipisahkan jauh dari sektor riil. Ekonomi terlihat mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, tapi sebenarnya hanyalah gelembung seperti balon yang semakin lama gelembung tersebut semakin besar, pada akhirnya akan pecah, hancur berantakan. Sementara sektor riil tidak mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan jauh tertinggal dari sektor moneter. Terjadinya jurang pemisah yang lebar menganga antara sektor moneter dan sektor riil, menunjukkan kerapuhan bangunan ekonomi, dan tidak diragukan lagi pada suatu saatnya nanti akan meletus, hancur berantakkan. Di lain pihak, saham yang merupakan derivasi dari uang dan diperdagangakn sedemikian likuidnya di pasar modaltidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dari perseroan. Nilai saham naik dan turun bukan disebabkan oleh kondisi internal perusahaan (fundamentalis issue) tapi lebih disebabkan oleh emotional issues, seperti faktor-faktor yang sifatnya politis, isu yang mencuat ke permukaan, dsb. sehingga, bisa jadi perusahaan sedang berjalan ke arah kebangkrutan tetapi sahamnya justru mengalami over pembelian. Dan, inilah yang terjadi saat ini.

Kedua, Kapitalisme berdasarkan pada sistem ribawi. Sudah tidak diragukan lagi, bahwa riba adalah sesuatu yang dilarang dalam sistem ekonomi Islam. Riba memiliki 73 pintu dosa, dimana dosa paling ringan dari riba bagaikan dosa seorang anak menzinahi ibunya. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana dosa yang paling berat dari riba..? Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 275-276, yang terjemahannya sebagai berikut,

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah idambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulang (mengambil riba), maka orang itu adalah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. Dan, Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa."

Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, Muhammad Ali Ash Shabuny dalam tafsirnya Cahaya Quran memaparkan bahwa Alquran menyerupakan orang yang mengambil riba dengan orang yang gila, tidak waras, dan dirasuki syetan, karena Allah mengembangkan apa yang mereka makan di dalam perut dari hasil riba, sehingga membuat mereka terbebani dan berat, lalu mereka tampak seperti orang tak waras, yang bangkit lalu menjatuhkan diri. Bahaya riba dari sisi ekonomi sudah sangat jelas. Riba menjadikan manusia terbagi menjadi dua tingkatan. yang satu tingkatan orang yang hidup mewah bergelimang kenikmatan dan kesenangan berkat keringat yang mengucur dari kening orang lain. yang satu lagi tingkatan orang yang tidak punya apa-apa, dikejar kebutuhan hidup dan kemiskinan namun mereka harus mensubsidi tingkatan sebelumnya.

Ketiga, Spekulasi. Mekanisme pasar uang dan pasar modal, tidak bisa terlepas dari spekulasi para investor. Jual beli uang dan derivasinya penuh dengan spekulasi untuk meraih kekayaan di kemudian yang sifatnya tidak pasti, tidak riil.

Keempat, Maysir (penipuan). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, saham-saham yang diperjualbelikan tidak secara kongkrit menggambarkan kondisi kinerja perusahaan, karena lebih banyak dipengaruhi oleh isue-isue yang lebih bersifat emosional, bukan fundamental.

Kamis, 16 Oktober 2008

Kepada Anakku, Afzalurrahman...

17 Oktober 2008, bagi sebagian orang mungkin tanggal ini gak begitu berarti karena memang jarang ditemui berada dalam buku-buku literatur sejarah sebagai tanggal yang punya nilai histori. Tapi bagi aku, tanggal ini jelas punya makna tersendiri. Ya, hari ini genap sudah anakku, Afzalurrahman, berusia 6 bulan. Usia peralihan, dari masa ber-ASI ria ke masa pengenalan berbagai macam jenis rasa makanan dan minuman. Aku yakin, hari-hari mendatang akan dipenuhi dengan warna-warni kejutan yang diatraksikan oleh anakku, kejutan-kejutan manis akan sebuah pertumbuhan dan perkembangan akan jiwa dan jasad menuju ke sebuah tahap kekanakkan yang penuh dengan arena permainan.

Anakku, sengaja kutulis dan kuposting tulisan ini, agar kelak kau tahu, bahwa kau adalah bagian dari sejarah. Bukan hanya sejarah bagi ayah dan ibumu, tapi juga sejarah bagi orang yang pernah dan akan mengenalmu, sejarah bagi orang yang tidak pernah mengenalmu, sejarah bagi orang yang mencintaimu, sejarah bagi orang yang membenci dan memusuhimu, sejarah bagi tapak-tapak jalanan yang di atasnya kau teteskan keringat lelah perjuangan panjang, sejarah bagi bumi yang tidak kunjung kau jejaki, sejarah bagi bangsa yang merindu aksi juang keimananmu, sejarah bagi negeri yang menanti gegap kepal kekar tanganmu mencengkeram durjana perusak dan penghancur yang murka. Dan yang pasti, kau adalah sejarah bagi perjalanan agama menuju mihrab kemenangan yang dijanjikan.

Anakku, ketika kau dilahirkan ke bumi ini dengan sedaya juang ibumu yang ikhlas dan sesabar ayahmu yang menanti penuh kerinduan, bukan sekedar senyum ayah-ibumu yang mengembang kebahagiaan, bukan jua sekedar peluk syukur saudaramu yang hangat kegirangan. Dibalik itu semua, amanah yang menggunung, pun harapan yang menganak samudera, telah diletakkan di atas pundakmu yang mungil. Bukan, bukan oleh ayah dan ibumu. Tapi oleh seluruh penduduk langit dan bumi. Mereka yang berharap kehadiranmu menjadi angin penyejuk episode kehidupan ini. Mereka yang sudah tak sabar lagi menanti semburat sinar pengusir kegelapan. Mereka yang tlah lelah menanti sosok tubuh yang tegap dengan tekad membara, membawanya ke arah pendakian yang lurus, agar aroma puncak yang segar dan panorama indah lembah kemenangan segera dapat dihirup dan disaksikan...

Anakku, Palestina yang membara, Irak yang bergejolak, Afghanistan yang merana, Indonesia yang menderita, dan sederet panjang negeri-negeri muslim yang berduka... Mereka adalah korban-korban kebiadaban zionis dan Amerika sebagai biang penjahatnya. Dunia ini tlah lelah, merindu aksi seorang anak manusia yang ikhlas, yang mampu mengabdikan segala waktu, tenaga, dan jiwanya, untuk memimpin mereka keluar dari segala krisis kehidupan yang menggurita. Jadilah kau sosok itu, pemimpin yang akan membawanya menjadi khalifah Allah di bumi ini, yang akan memakmurkannya dengan penuh amanah dan kokohnya keimanan...

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahui; sedangkan Allah mengetahuinya” (al Anfal: 60).


“Kerana itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar” (an-Nisa’: 74).

al Imam asSyahid berkata pada penutup Risalah al Jihad “Sesungguhnya ummat yang menyebabkan kematian dengan cara yang baik dan mengetahui bagaimana untuk mati dalam kematian yang mulia, Allah mengurniakan kepadanya kehidupan yang mulia di dunia dan kenikmatan yang abadi di akhirat. Tidak adalah al Wahan yang melemahkan kita yakni kecintaaan kepada dunia dan kebencian kepada mati. Maka persiapkanlah diri kamu untuk amal yang besar ini dan inginkanlah kepada kematian, nescaya akan diberikan kepadamu kehidupan. Dan ketahuilah kematian itu tidak dapat tidak daripadanya. Ianya (kematian) adalah sekali sahaja, jika kamu jadikannya pada jalan Allah jadilah ia keuntungan di dunia dan balasan pahala di akhirat. Tidaklah menimpa kamu melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kamu. Maka ketahuilah, dengan kematian yang mulia itu kamu berjaya dengan kebahagian yang sempurna. Semoga Allah mengurniakan kepada kami dan kepadamu kemuliaan mati syahid di jalanNya.”

Kamis, 09 Oktober 2008

Jabatan Tangan Berbuah Dosa

Pernahkah Anda berjabat tangan? Jawabannya pasti pernah. Terlebih bagi Anda yang muslim, karena dalam Islam, berjabat tangan merupakan suatu akhlak terpuji yang dianjurkan untuk dilakukan, tentunya bagi sesama jenis atau bagi yang makhrom. Tetapi, ketika pertanyaan tadi dilanjutkan, “Bagaimana perasaan Anda ketika berjabat tangan dengan saudara atau teman Anda?” jawabannya pasti juga banyak dan beragam. Saya sering mengalami hal yang kurang mengesankan ketika bersalaman/berjabat tangan, mungkin Anda juga sering merasakannya.

Suatu ketika, dengan perasaan rindu dan hormat, saya mendekati teman dan mengajaknya berjabat tangan seraya pamit untuk meninggalkan ruangan kerja lebih dulu. Namun rasa ta'zim dan niat baik itu berujung sesal dan sakit, karena teman yang diajak bersalaman hanya menjulurkan tangan kanannya saja tanpa berpaling muka ke arah saya sedikit pun. Matanya asik dengan kegiatannya sendiri seolah tak peduli kehadiran saya. Sesal, karena saya merasa telah mengganggu aktivitasnya. Kalau saja tahu bakal dicuekin seperti itu, mungkin saya urung untuk berjabatan tangan dengan nya. Sakit, karena sebagai teman saya tak dianggap mulia, bahkan oleh teman sendiri. Okelah, mungkin saya yang salah, telah mengganggu aktivitasnya, gumam saya menghibur diri.

Di saat yang lain, saya sedang berasik ria dengan aktivitas membaca Alquran di meja kerja saya. Tiba-tiba teman saya mendekat untuk mengajak berjabat tangan karena dia baru saja hadir di kantor pagi itu. Dengan segera, saya hentikan aktivitas membaca saya, saya raih tangannya dengan wajah yang diusahakan seceria mungkin. Namun, sakit kembali menghampiri hati ini. Teman yang menghampiri dan mengajak bersalaman, ternyata hanya menjulurkan tangan saja dan mukanya melihat ke arah teman yang lain. Ah, kenapa juga harus mengajak jabat tangan dengan saya kalau mukanya ke arah yang berbeda. Lebih baik gak usah jabatan aja deh.. pikir saya.

Heran sekaligus miris. Karena orang yang mengajak maupun yang saya ajak berjabatan adalah mereka yang muslim, yang bahkan dalam aktivitas kesehariannya sangat lekat dengan ibadah dan aktivitas dakwah. Miris, karena berjabatan tangan adalah akhlak yang merupakan bunga dari keimanan seorang muslim. Bagaimana mungkin seseorang berkoar-koar mengajak orang berbuat kebajikan kalau akhlaknya sendiri belum mencerminkan kepribadian da'i yang integral. Barangkali bukannya mereka mau mendengar seruan kita, yang terjadi malah mereka kabur karena sikap kita yang tidak hangat dan ramah.

Teman, sadarilah! Jangan sampai kita nyaman dengan kebajikan yang kita lakukan itu. Kita tidak sadar, bahwa sikap baik yang kita tampilkan itu justru membuat luka menganga dalam hati orang lain karena cara kita yang salah dalam menampilkannya. Dengan sikap itu pula, kita justru melakukan black compaign terhadap Islam yang kita serukan kepada mereka. Bukankah kita sadar dan yakin bahwa berjabat tangan itu dapat merontokkan dosa-dosa kita? Lalu, apa makna yang akan kita dapat kalau berjabat tangan yang kita lakukan justru membuat orang lain sakit hati, berpersepsi yang salah terhadap Islam? Bukannya dosa yang rontok, tapi dosa yang semakin tumbuh subur dalam diri kita.

Diterima dari Anas bin Malik r.a. yang berkata, aku pernah mendengar seseorang berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, jika seseorang bertemu dengan saudaranya atau temannya, apakah ia mesti menundukkan (kepala)?”“Tidak,” jawab Rasul.“Ataukah menghormat dan memeluknya?”“Tidak juga.”“Apakah memegang tangannya (berjabat tangan)?”“Ya,” jawab Rasul singkat. (Dikeluarkan oleh Imam Turmudzi dalam kitab bahasan mengenai minta izin (2728) bab tentang mushafahah. Ia mengatakan: ini adalah hadits hasan; Ibn Majah mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab bahasan mengenai adab (3702) bab al-mushafahah. Imam Baihaki mengeluarkannya dalam bukunya (VII: 100), dan Imam Ahmad (III: 198).

Diterima dari Al-Barra bin ‘Azib r.a. yang berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika dua muslim saling bertemu, lalu saling berjabatan tangan, saling memuji Allah (sama-sama mengucapkan alhamdulillah), serta sama-sama beristighfar (memohon ampunan dosa) kepada Allah, pasti mereka akan diampuni dosanya.” Menurut satu riwayat, Rasulullah saw. bersabda, “Tiada dua muslim yang saling bertemu, lalu mereka saling berjabat tangan kecuali mereka akan diampuni dosanya sebelum mereka berpisah.” (Riwayat pertama dan kedua dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Al-Adab (5211 dan 5212) bab tentang mushafahah; Imam Turmudzi mengeluarkan dalam kitab bahasan mengenai minta izin (2727) bab tentang penjelasan mengenai mushafahah; Ia mengatakan: hasan ini hasan gharib; Ibn Majah mengeluarkannya dalam kitab adab (3703) bab tentang mushafahah.

Dua hadits di atas mengungkapkan tentang keutamaan dari Berjabat tangan dengan sesama muslim. Memang, tidak diungkapkan adanya keharusan bermuka ceria dalam kedua hadits tersebut. Namun bukankah dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw memberikan gambaran kepada kita tentang keutamaan bermuka ceria di hadapan saudara seiman. Bahkan, senyum terhadap saudara kita dikategorikan termasuk bagian dari shadaqoh.

Al-Husein cucu beliau menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata: "Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, ayahku menuturkan:
"Beliau shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa tersenyum, luhur budi pekerti lagi rendah hati, beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkanya pasti tidak akan kecewa dan siapa saja yang memenuhi undangannya pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara: "riya', berbangga-bangga diri dan hal yang tidak bermanfaat." Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara: "beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala." Jika beliau berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara.

Rabu, 17 September 2008

Antara Berlebihan dan Meremehkan



Di antara tipu daya syetan yang menakjubkan adalah ia menguji nafsu manusia, manakah yang lebih dominan, kekuatan untuk maju dan berani atau kekuatan menolak, diam dan kehinaan?

Jika ia melihat yang dominan pada nafsu adalah diam, statis dan kehinaan, maka ia berusaha melemahkan keinginan dan kemauannya terhadap apa yang diperintahkan, ia menjadikan orang itu beranggapan berat terhadapnya, sehingga ia mudah meninggalkan perintah itu, bah-kan hingga meninggalkannya sama sekali, atau paling tidak malas dan meremehkan hal tersebut.
Tetapi jika ia melihat yang dominan padanya adalah keinginan untuk maju dan motivasi kuat maka ia menjadikan perintah yang dilakukan itu terasa masih sedikit, sehingga dianggap masih kurang, lalu perlu ditingkatkan lagi dan ditambah. Sehingga golongan yang pertama meremehkan dan yang kedua berlebih-lebihan. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf, "Tidaklah Allah memerintahkan suatu perintah, kecuali syetan memiliki dua bujukan, baik kepada meremehkan dan menganggap enteng atau membujuknya kepada berlebih-lebihan dan melampaui batas, syetan tidak mempedulikan dengan yang mana ia beruntung."

Kebanyakan manusia terjerumus pada dua lembah ini kecuali seba-gian kecil saja dari mereka; yang pertama adalah lembah meremehkan dan menganggap enteng dan yang kedua adalah lembah berlebih-lebih-an dan melampaui batas. Ironinya, sedikit sekali orang yang tetap tegak pada jalan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.

Sebagian kaum meremehkan urusan kebutuhan makan, minum dan pakaian sehingga membahayakan badan dan had mereka. Sebaliknya ada kaum yang berlebih-lebihan dalam hal yang sama, sehingga memba-hayakan hati dan badan mereka.

Sebagian kaum meremehkan hak para nabi dan ahli waris mereka (ulama) bahkan hingga mereka membunuhnya, tetapi ada kaum lain yang melampaui batas terhadap mereka hingga sampai menyembah mereka.

Sebagian kaum meremehkan dalam hal mempergauli manusia, me-reka mengasingkan diri dari manusia hingga dalam hal-hal ketaatan seperti shalat Jum'at, jama'ah, jihad dan mencari ilmu. Sebaliknya ada yang melampaui batas dalam hal pergaulan sampai mereka memper-gauli manusia dalam kezaliman, kemaksiatan dan dosa.

Sebagian kaum menolak mencari ilmu yang bermanfaat, tetapi ada yang melampaui batas hingga menjadikan ilmu semata sebagai tujuan-nya tanpa mengamalkan ilmu itu sendiri.
Sebagian kaum meremehkan hingga hanya memakan rumput serta makanan ternak lainnya dan bukan makanan manusia, sebaliknya ada yang berlebih-lebihan hingga mereka memakan barang yang haram.

Sebagian kaum meremehkan sehingga menganggap baik mening-galkan Sunnah Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hal pernikahan, lalu ia pun membencinya sama sekali, sebaliknya ada yang berlebih-lebihan sehingga mereka sampai melakukan hal-hal yang diharamkan.

Sebagian kaum meremehkan hingga bersikap keras kepada orang-orang yang taat menjalankan perintah agamanya, orang-orang shalih serta berpaling dari mereka dan tidak mau memenuhi hak-hak mereka, sebaliknya sebagian kaum berlebih-lebihan hingga menyembah mereka selain menyembah Allah.

Sebagian kaum meremehkan hingga melarang menerima perkata-an para ahli ilmu serta agar berpaling sama sekali daripadanya, sebalik-nya sebagian lain melampaui batas hingga mereka menjadikan halal apa yang dihalalkan oleh mereka dan haram apa yang diharamkan oleh mereka, mereka mendahulukan perkataan para ahli ilmu tersebut atas firman Allah dan hadits Rasul-Nya.

Sebagian kaum meremehkan hingga mengatakan bahwa Allah tidak kuasa atas perbuatan hamba-hamba-Nya, sebaliknya sebagian kaum berlebih-lebihan hingga mengatakan bahwa mereka tidak mampu me-lakukan suatu perbuatan apa pun. Allahlah –menurut pandangan mereka-yang melakukan berbagai perbuatan manusia itu secara hakiki, perbuatan itu perbuatan-Nya, bukan perbuatan mereka dan hamba tidak memiliki kuasa atau perbuatan apa pun.

Sebagian kaum meremehkan hingga mengatakan bahwa sesung-guhnya Tuhan semesta alam tidaklah berada di dalam makhluk-Nya, tidak pula jauh dari mereka, tidak di atas, di bawah, di belakang, di depan, di samping kanan atau di samping kiri mereka. Sebaliknya sebagi-an kaum melampaui batas hingga mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, sebagaimana angin yang berada di seti-ap tempat.

Sebagian kaum meremehkan hingga mengatakan bahwa Tuhan tidak befirman meskipun dengan hanya satu kalimat, tetapi sebagian melampaui batas hingga mengatakan bahwa Dia masih tetap abadi dan azali befirman,

"Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua Tangan-Ku?" (Shaad: 75).

Dan beiirman kepada Musa Alaihis-Salam,
“Pergilah kepada Fir'aun." (Thaha: 24).

Firman ini -menurut mereka- masih tetap disampaikan dan terdengar daripada-Nya, sebagaimana sifat hayat yang senantiasa melekat pada-Nya.

Sebagian kaum berkata bahwa sesungguhnya Allah tidak memberi syafa'at kepada seorang pun, serta tidak pula mengasihi seseorang kare-na syafa'at orang lain, sebaliknya ada sebagian kaum yang menyangka bahwa ada makhluk yang bisa memberi syafa'at di sisi-Nya tanpa seizin-Nya, sebagaimana orang yang memiliki kedudukan memberi syafa'at (perantaraan, pertolongan) di sisi raja atau sejenisnya.

Sebagian kaum meremehkan hingga berkata bahwa iman orang yang paling fasik dan paling zalim sama dengan iman Jibril dan Mika'il, apalagi dengan Abu Bakar dan Umar. Sebaliknya sebagian kaum melam-paui batas hingga mengeluarkan mereka dari Islam karena satu perbuat-an dosa besar.

Sebagian mereka menafikan dan membatalkan hak-hak nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi sebagian lain melampaui batas sehingga mereka menyamakan dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.

Sebagian kaum meremehkan sehingga memusuhi Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, membunuh mereka serta menghalalkan kehormatan mereka, namun sebagian kaum lagi berle-bih-lebihan terhadap mereka sehingga mereka mengira bahwa Ahlul Bait tersebut memiliki keistimewaan-keistimewaan nubuwah, misalnya maksum (terbebas dari dosa) atau lainnya, bahkan mungkin ada yang mengira mereka memiliki sifat Uluhiyah.
Orang-orang Yahudi meremehkan hak Al-Masih sehingga mereka mendustakan dan menfitnahnya berikut ibunya dengan sesuatu yang Allah mensucikan mereka daripadanya. Sebaliknya orang-orang Nasrani melampaui batas sehingga mereka menjadikannya sebagai putera Allah, bahkan sebagai Tuhan yang disembah bersama Allah.

Sebagian kaum meremehkan sehingga menafikan sebab, kekuatan, tabi'at dan naluri, di sisi lain ada kaum yang melampaui batas sehingga menjadikannya sebagai perkara yang mesti dan harus, yang tak mungkin diubah dan diganti, bahkan mungkin sebagian dari mereka ada yang menjadikannya memiliki pengaruh secara sendirinya.

Sebagian kaum ada yang meremehkan yakni menyembah dengan (mengenakan) barang-barang najis, mereka adalah orang-orang Nasrani dan yang sebangsanya, tetapi sebagian kaum ada yang dipenuhi oleh was-was hingga was-was itu membelenggu mereka, mereka adalah orang-orang sejenis Yahudi.

Sebagian kaum meremehkan hingga berhias untuk manusia dan menampakkan amal serta ibadahnya supaya mereka dipuji, tetapi seba-gian kaum melampaui batas sampai menampakkan hal-hal yang jelek dan amal perbuatan yang buruk sehingga menjatuhkan kehormatan mereka di hadapan manusia, kelompok ini menamakan diri mereka dengan Al-Malamatiyah.

Sebagian kaum meremehkan hingga menganggap enteng perbuatan hati dan tak mau mempedulikannya, bahkan mereka menganggapnya terlalu mengada-ada, namun sebagian lain melampaui batas hingga hanya membatasi pandangan dan amal mereka pada amalan hati, dan tak mempedulikan terhadap perbuatan anggota badan.

Sumber: Kitab Manajemen Qalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan, Ibnu Qayyim al Jauziyyah

Selasa, 05 Agustus 2008

Surat Untuk Istriku...


Alhamdulillah... fajar itu kembali menyemburatkan sinar kehangatannya, memberikan sejumput asa akan putaran roda kehidupan yang masih akan terus berputar. Menengarai pergerakan ombak yang akan terus memperlihatkan kegagahannya. Menghembuskan ayunan angin dengan aroma kesegarannya. Membentangkan helaian perjalanan panjang yang siap ditempuh dengan segala kerlip warna di setiap sudutnya.
Istriku... rasanya belum begitu lama kita mengayuh sampan ini. Namun, ternyata perjalanan kita tlah jauh meninggalkan dermaga itu, tempat ketika kita mengikat janji dan komitmen untuk merangkai asa dan cita dalam langkah dan kata yang sama dan senada. Kini, biduk ini sudah jauh meninggalkan dermaga itu. Tidak sedikit badai menampar wajah sampan kita, tidak sedikit ombak yang menderu mencoba menghajar ketangguhan sampan ini, panas dan terik mentari pun tak terhitung menjilat-jilat penatnya perjalanan ini. Alhamdulillah, Allah memberikan kekuatan-Nya, menunjukkan kita ke arah perjalanan yang kita tuju, walau dengan segenap keletihan, keringkihan, dan kehampaan jiwa yang selalu menghampiri...

Ah... dua tahun sudah, genap usia perjalanan ini.... dan kita pun tidak berdua lagi... hadir di tengah kita sesosok makhluk mungil yang selama ini kita idamkan, menghangatkan hari-hari yang akan kita lalui jauh ke depan, memberikan keceriaan dengan pesona harum keihklasannya, memberikan sandaran asa bagi kita 'tuk menjadi bagian dari prajurit Allah kelak, yang tangguh dan lantang meneriakkan kebenaran, solid dan intima pada manhaj yang kokoh, tsabat dan mujahadah dalam membela Allah dan Rasul-nya. Sesuai dengan nama yang kita berikan,
Nazheef Ghazwan Afzalurrahman....

Bidadariku... maafkan aku, bila dalam perjalanan kita yang belum lama ini, aku belum menjadi nahkoda yang baik, yang dapat menuntun ke arah perjalanan yang dikehendaki-Nya, yang dapat memberikan pelita yang terang ketika pekat malam menghampiri, yang dapat mengayuh kuat ketika badai mengguncang, yang dapat menjadi penyair syahdu ketika sendu bertamu, yang dapat meredam nafsu ketika amarah menggebu. Maafkan aku... Bila cintaku tak sedalam cinta Rasulullah kepada Aisyah, tak sekokoh cinta Ibrahim kepada Hajar, juga tak seindah cinta Ali kepada Fathimah... Bagiku, kau adalah bidadari. Teman perjalanan yang hangat penuh keikhlasan, teman bermain yang ceria penuh kebahagiaan, dan teman perjuangan yang gigih penuh tsabat dan kesungguhan... Tetaplah menjadi bidadari di sisiku, yang akan menemaniku untuk meneruskan perjalanan ini dengan segala hiruk pikuk di dalamnya. Mari, kembali kita kuatkan energi, pererat cengkraman jari jemari, perdalam ketsiqohan, dan terus sucikan keikhlasan jiwa... agar perjalanan ini semakin menarik, agar perjalanan ini semakin penuh dengan warna, agar perjalanan ini semakin penuh dengan keberkahan... sampai kita menemukan arah yang kita tuju, tempat kita berlabuh, untuk meraih cinta dan ridha-Nya...

Rabu, 30 Juli 2008

Kemenangan di Alam Jiwa, Kemenangan di Alam Nyata

Oleh: Ust. M. Anis Matta

Ramadhan mengantar Muslimin untuk meraih apapun tanpa batas. Setahun lamanya Allah Subhanahu wa ta'ala mengkondisikan kaum Muslimin untuk menghadapi fase perjuangan berdarah, yang pasti akan mereka lalui sejak mereka hijrah ke Madinah. Perang adalah takdir yang niscaya di jalan da'wah. Perang adalah pajak yang harus dibayar tunai untuk menegakkan agama Allah Swt. Mereka yang bergabung dalam kafilah da'wah adalah mereka yang telah menyatakan kesediaannya untuk membayar tunai pajak itu. Diri-diri mereka adalah waqaf untuk agama Allah.

Agama ini adalah kumpulan kebenaran, yang hanya dapat diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, apabila ia mendapat dukungan kekuatan yang sama besarnya dengan kebenaran itu sendiri. Kebenaran dan kekuatan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kebenaran tanpa kekuatan adalah kelemahan. Kekuatan tanpa kebenaran adalah kezaliman. Dan perang adalah tempat di mana kekuatan kebenaran itu diparadekan. Filosofi Perang akhirnya pertempuran besar itu meletus juga. Itulah perang Badar. Perang pertama yang paling besar dan paling menentukan dalam sejarah Islam. Setelah masa pengkondisian yang intensif yang berlangsung setahun lamanya, dan setelah berbagai persiapan dan latihan yang dilakukan kaum Muslimin dalam tahun itu, takdir perang itu akhirnya menjadi kenyataan. Sebuah pertempuran tatap muka antara kekuatan kebenaran dan kekuatan kebatilan diparadekan di sini. Komunitas Muslim di Madinah sudah sampai pada suatu tahapan pertumbuhan yang hanya bisa dihabisi dengan perang. Fase perjuangan selanjutnya pastilah akan berdarah-darah. Tidak ada pilihan lain untuk menghindarinya. Komunitas Muslim ini harus dikondisikan untuk memasuki fase ini. Maka turunlah ayat yang mengizinkan mereka berjihad dalam posisi membela diri pada saat mereka baru saja tiba di Madinah: "Telah diizinkan bagi mereka yang diperangi (untuk berperang), karena mereka telah dizhalimi. Dan sesungguhnya Allah Maha Sanggup menolong mereka." (al-Haj: 39) Tapi pada ayat selanjutnya, Allah Swt menjelaskan fungsi perang dalam paradigma da'wah itu; bahwa perang adalah instrumen yang mutlak diperlukan untuk menegakkan agama Allah swt di muka bumi. Maka Allah swt mengatakan: "Yaitu orang-orang yang jika Kami berikan kekuasaan di muka bumi, maka mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." (al-Haj: 41)

Yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wa sallam selanjutnya adalah melakukan berbagai langkah persiapan perang. Salah satunya dengan melakukan ekspedisi militer dalam pasukan-pasukan kecil. Eskpedisi militer itu berfungsi sebagai upaya pemetaan medan, penguasaan lapangan, pengintaian, dan berbagai aktivitas intelijen militer lainnya. Dalam waktu kuang dari setahun, Rasulullah Saw telah mengirim sekitar delapan ekspedisi militer. Pada ekspedisi kedelapan yang dipimpin Abdullah bin Jahasy terjadi pertempuran kecil. Hampir dapat dipastikan bahwa setelah pertempuran kecil itu, sebuah pertempuran yang lebih besar akan meletus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Maka turunlah ayat-ayat lain yang memotivasi kaum Muslimin untuk berperang. Allah Swt berfirman; "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu menjumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim." (al-Baqarah: 190-193)

Setelah itu turunlah ayat-ayat lain yang mengajarkan kepada kaum Muslimin beberapa taktik perang. Allah Swt berfirman; "Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi pimpinan kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenankan-Nya kepada mereka. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (Muhammad: 4-7). Di tengah pengkondisian yang intensif bagi kaum Muslimin untuk bersiap-siap menghadapi peperangan, Allah Swt juga mencela orang-orang pengecut yang senantiasa menghindari peperangan yang niscaya, orang-orang yang nyalinya lenyap seketika setiap kali ada panggilan perang. Allah Swt berfirman: "Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu surat ?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka." (Muhammad : 20)

Kaum Muslimin memenangkan Perang Badar dengan cara yang sangat spektakuler, dan menjadi pembuka kemenangan-kemenangan besar dalam berbagai peperangan berikutnya. Kemenangan militer itu telah menempatkan komunitas muslim Madinah sebagai salah satu kekuatan militer paling berwibawa di jazirah Arab. Da'wah telah mendapatkan perisainya, dan komunitas Muslim Madinah telah mendapatkan kehormatannya. Rahasia Besar Perang Badar, Itulah kejadiannya. Tapi ada sebuah rahasia besar yang terselip dalam peristiwa ini. Yaitu waktu yang dipilih Allah Swt untuk perang besar pertama kaum Muslimin. Perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedua hijrah. Pengkondisian dan persiapan perang telah berlangsung setahun sebelumnya, tapi perang akbarnya justru terjadi pada bulan Ramadhan di saat mana Allah Swt pertama kali mewajibkan ibadah puasa kepada kaum Muslimin. Jadi puncak pertarungan antara kebenaran dan kebatilan itu ditakdirkan terjadi pada saat kaum Muslimin sedang berpuasa. Dalam perang itu sesungguhnya terjadi dua kemenangan sekaligus. Yang satu telah mendahului yang lainnya, bahkan menjadi penyebab dan pengantarnya. Kemenangan pertama adalah kemenangan di alam jiwa, kemenangan di alam ruh. Dari dialog-dialog yang dilakukan Rasulullah Saw sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke Perang Badar, kita dapat mengetahui betapa komentar-komentar para sahabat beliau menunjukkan bahwa mereka sedang berada di puncak keimanan, jiwa-jiwa mereka sedang melanglang-buana di langit keimanan dan tawakkal, hasrat dan rindu mereka hanya terpaut ke surga. Kepercayaan-yang-tidak-terbatas kepada Allah Swt, tekad baja yang tidak terkalahkan dalam menegakkan kebenaran, keberanian yang tak pernah dapat disentuh oleh ketakutan, kerinduan pada surga yang tidak pernah dapat diselesaikan oleh fatamorgana dunia; itu semua yang memberi mereka energi perlawanan yang sangat dahsyat. Itulah rahasianya; bahwa kemenangan yang hakiki sesungguhnya terjadi pertama kali di alam jiwa, yakni ketika kepercayaan mengalahkan keraguan, harapan mengalahkan kecemasan, keberanian mengalahkan ketakutan, rindu kepada surga mengalahkan semua godaan dunia, tekad melumpuhkan kelemahan dan keterbatasan, kebesaran musuh berubah menjadi debu dalam pandangan jiwanya. tulah rahasianya; bahwa pertempuran adalah bagian dari perang, dan perang yang sesungguhnya terjadi dalam semua dimensi, tapi kemenangan dalam peperangan adalah buah kemenangan di alam jiwa, karena senjata tidaklah berdiri sendiri, karena senjata bergantung kepada tuannya, karena sorotan mata seringkali lebih tajam dari kilatan pedang, karena nama Khalid bin Walid lebih menakutkan daripada pasukannya, karena, "Teriakan al-Qa'qa' bin 'Amr jauh lebih menakutkan daripada seribu laki-laki," kata Saad bin Abi Waqqash. Tapi apakah rahasia yang menciptakan kemenangan di alam jiwa itu? Itulah puasa.

Puasa mengantar kita meraih semua kemenangan di alam jiwa. Dan begitulah kenyataannya, kaum Muslimin selalu mencatat rekor kemenangan-kemenangan besar yang sangat menentukan dalam bulan Ramadhan atau dalam keadaan berpuasa. Kaum Muslimin meraih kemenangan dalam perang Badar pada bulan Ramadhan tahun kedua hijrah, dan membebaskan kota Makkah pada bulan Ramadhan tahun kedelapan hijrah. Muzaffar Quthuz menaklukkan pasukan Tartar dalam perang 'Ain Jalut juga pada bulan Ramadhan. Dan Shalahuddin Al-Ayyubi mengusir pasukan Salib dari tanah Palestina dalam perang Hiththin juga pada bulan Ramadhan. Muhammad Al-Fatih Murad melakukan puasa sunnah tiga hari berturut-turut sebelum merebut Konstantinopel. Kemenangan kedua di alam nyata itu adalah buah dari kemenangan di alam jiwa. Tapi kemenangan di alam jiwa mempunyai satu rahasia: puasa

Jumat, 27 Juni 2008

Kematian Hati


Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu. Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang. Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih. Bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini
itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. Selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Ada juga orang yang sama sekali tak pernah beramal tetapi merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu ?

Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya ? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu: 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak diperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh".Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.

Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat 'TV Thaghut' menyiarkan segala 'kesombongan jahiliyah dan maksiat' ? Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan "Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami. Sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana ? Sekarang kau telah jadi kader hebat. tidak lagi malu-malu tampil. Justru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki.

Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu. Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang. Lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai. Berlalu tanpa rasa bersalah? Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua". Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinahi teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini?

Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mall. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya". Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "Lihatlah, betapa Amerikanya aku". Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.

Ust. Rahmat Abdullah (Rahimahullah)

Dari peka-online.jakarta